Jumat, 26 Maret 2010

pembukuan hadist

Secara bahasa tadwin di terjemahkandengan kumpulan shiffah(mujtama’ al-shoruf).secara luas tadwin diartikan dengan al-jam’u(mengumpulkan) .Al-zahrani merumuskan pengertian tadwin:
تفيدالمتفرق المشتت وجمعه في ديوان اوكتاب تجمع فيه الصحف
”Mengikat yang berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi satu diaawn atau kitb yang terdiari dari lembaran”

Sementara yang di maksud dengan tadwin hadits dalam periode ini adalah pembukuan(kodifikasi)secara resmi yang berdasarkan pemerintah kepala negara,dengan melibatkan beberapa personil yang dibidangnya.
Usaha ini di mulai pada masa pemerintahan islam yang di pimpin oleh kholifah umar ibnu abdul azis kholifah ke 8 dari kekholifahan bani umayyah melalui instruksinya kapada para pejabat daerah agr memperhatikan dan mengumpulkan hadits dari para penghafalnya,kepada abu bakar ibnu muhammad ibn amri ibn hazm(gubernur madinah)ia mengirim instruksi yang antara lain berbunyi:

انظرواحديث رسول الله صلى الله عليه وسلم فا كتبوه فا ني حفت دروس العلم ودهاب (وفي روايةدهابه العلماء)ولاتقبل الاحديث النبي صلي الله عليه وسلم
”Perhatikan atau periksalah hadits-hadits rasul kemudian tuliskanlah!aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama’(para ahlinya)dan janganlah kamu terima kecuali hadits rasul SAW”

Kholifah menginstruksikan kepada abu bakar ibn hazm agar mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada amrah binti abdurrahman al-anshori(murid kepercayaan siti asiyah)dan al-Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar.Inatruksi yang sama ia tijikan kepada Muhammad ibn Syuhab Al-Zuhri,yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui dari pada yang lainnya.
Abu Bakar ibn Hazm berhasil menghimpun hadits dalam jumlah yang menurut para ulama’ kurang lengkap .Sedang ibn syihab Al-Zuhri berhasil menghimpunnya yang dinilai para ulama’ lebih lengkap,akan tetapi sayang sekali karya kedua tabi’in ini lenyap tidak sampai pada generasi sekarang.


2. LATAR BELAKANG PEMBUKUAN HADITS
Sekurang-kurangnya ada 2 hal pokok mengapa umar ibn abdul aziz mengambil sikap seperti ini .Pertama ia khawatir terhadap hilangnya hadits-hadits dengan meninggalnya para ulama’ di medan perang.Kedua,ia khawatir juga akan tercampurnya antara hadits-hadits yang sohih dengan hadits-hadits yang palsu.Dipihak lain bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam.Sementara kemampuan para tabi’in anta satu dengan yang lainnya tidak sama,jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini
Dengan melihat berbagai persoalan yang muncul, sehingga akibat terjadinya pergolakan politik, yang sudah cukup lama, dan mendesaknya kebutuhan untuk segera mengambil tindakan guna penyelamatan hadits dari kemusnahan dan pemalsuan mak umar ibn abdul aziz sebagai seorang kholifah yang berakhlak mulia,adil danwirai terdorong untuk maengambil tindakan ini bahkan menurut beaberap filsafat,ia turaut terlibat maendiskusikan hadits-hadits yang sedang dihimpunnya.

3. KUNJUNGAN(RIHLAH)UNTUK MEMPEROLEH DATA HADITS
Para Ulama ini hidup pada jamannya masing-masing dan berasal dari kawasan yang berbeda-beda, mulai dari Imam Malik atau nama lengkap beliau Abu Abdillah Malik bin Anas Al Ashbahi, lahir di Madinah pada tahun 95 H dan wafat pada tahun 179 H, pada usia 84 tahun; hingga Imam Ibnu Majah yang nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah, lahir pada tahun 209 H di Qazwin Irak dan wafat tahun 273 H bulan Ramadhan pada usia 64 tahun.
Mereka hidup dengan mewarisi perangai Rasulullah saw., konsisten antara ilmu yang diajarkan dengan sikap amalan keseharian, hidup bersahaja sementara terus berusaha dengan sungguh-sungguh dalam menghimpun, menganalisa dan menata serta menyebar luaskan ajaran hadits-hadits yang dihimpun dalam kitabnya masing-masing. Kumpulan kitab hadits mereka dikenal sebagai Al-Kutub As-Sittah (Kitab yang Enam) terdiri dari Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmizi, Sunan An-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, disamping Muwaththa’ Imam Malik.
Pada suatu musim haji Khalifah Al Manshur mengunjungi Imam Malik untuk memohon maaf kepadanya atas perlakuan petugasnya di Madinah yang telah menangkapnya ketika ia dimintai fatwa tentang baiat yang diberikan secara paksa. Disamping itu Khalifah meminta kepadanya untuk mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah saw. yang akhirnya dipenuhi oleh Imam Malik bin Anas dalam kitab Al Muwaththa’.
Suatu ketika Imam Malik mendapat tawaran dari Khalifah Harun Ar-Rasyid yang bersedia menjadi penyandang dana dan menyerahkan uang 3.000 dinar untuk membiayai program penyeragaman berpegang pada kitab Al Muwaththa’. Namun Imam Malik tidak serta merta tertarik proposal yang nampak feasible tersebut, beliau menjawab: “Tidak ada alasan kuat untuk menyeragamkan orang-orang agar berpegang pada kitab Al Muwaththa’, karena para sahabat Nabi saw. telah menyebar keberbagai penjuru negeri. Kalangan penduduk Mesir telah memiliki ilmu pengetahuan, demikin halnya dengan kawasan yang lain. Nabi Muhammad saw
Berbeda dengan Imam Malik yang selamanya menetap di Madinah kecuali sewaktu menunaikan ibadah haji ke Makkah, Imam Bukhari banyak melawat ke tempat-tempat yang jauh untuk mengumpulkan dan mempelajari hadits Rasulullah saw. dan mengetahui latar belakang orang-orang yang meriwayatknnya. Daerah-daerah yang dikunjunginya adalah Syam (Suriah), Mesir dan Aljazair masing-masing dua kali, ke Basra empat kali, menetap di Makkah dan Madinah selama enam tahun, berulang kali ke Kufah dan Baghdad. Dari hasil kunjungannya tersebut Imam Bukhari berhasil mengumpulkan 600.000 hadits, dimana sebanyak 300.000 hadits berhasil dihafalnya di luar kepala, yang terdiri dari hadits shahih dan tidak shahih.
4. KAPAN PEMBUKUAN HADITS DILAKUKAN
Berlangsung hingga usaha penghimpunan yang di pelopori oleh Az-Zuhri (ulama’ yang disuruh oleh umar bin abdul azis RA,nama aslinya Abu Bakar Muhammad Asy-Syihab Az-Zuhri hidup tahun 51-124)Usaha penghimpunan hadits secara besar-besaran dilakukan oleh ulama’ hadits pada abad ke-3 hijriyah,seperti Imam Al Bukhori,Imam Muslim,Imam Abu Dawud,Imam At-Tirmidzidan ulama’ hadits yang lainnya melalui kitab hadits masing-masing.

5. TOKOH-TOKOH YANG BERPERAN DALAM PEMBUKUAN HADITS
Ada ulama’ ahli hadits yang berhasil menyusun kitab tadwin,yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang,yaitu Malik ibn anas(wafat 93-179H) di Madinah,dengan kitab hasil karyanya Al-Muawattha’ kitab tersebut disusun pada tahun 143 H atas permintaan kholifah Al Mansyur.Para ulam’ menilai muwattha’ ini sebagai kitab tadwin yang pertama dan banyak dijadikan rujukan oleh para muhadist selanjutnya.
Para pentadwin berikutnya ialah Muhammad ibn Ishaq(w 151 H)dan ibn Abi Zi’bin(80-158H)di Madinah;ibn Juraij(80-150H)di Makkah;Al-Rabi’ ibn Sabih(w 160H)dan Hammad ibn Salamah(w 176H)di Basrah:Sufyan Al- tsauri(&-161H)di kuffah;Al-Auza’i(88-157H)di Syam;Ma’mar ibn Rasyid(93-153H)di Yaman;ibn Al-Mubarok(118-181H)di Khurasan;Abdullah ibn Wahab(125-197H)di Mesir;dan Jarir ibn Abdul Al-Hamid(110-188H0di Rei.

1. KITAB-KITAB HADITS DAN METODE PENYUSUNANNYA
Kitab-kitab yang telah dibukukan dan di kumpulkan dalam abad ke dua ini,banyak.akan tetapi yang terkenal dalam kalangan ahli hadits,ialah :
a. Al Muwattha’ disusun oleh Imam Malik(95H-179H)
b. Al Maghazy wal Siyar disusun oleh Muhammad ibnu Ishaq (150H)
c. Al Jami’ disusun oleh Abdur Razak As San’any (211H)
d. Al Mushannaf disusun oleh Syu’ban Ibn Hajjaj (160H)
e. Al Mushannaf disusun oleh Sufyan ibn Uyainah (198H)
f. Al Mushannaf disusun oleh Al Laits ibn Sa’ad (175H)
g. Al Mushannaf disusun oleh Al Auza’y (150H)
h. Al Mushannaf disusun oleh Al Humaidy (219H)
i. Al Magazin Nabawiyah disusun oleh Muhammad ibn Waqid Al Aslamy(130H-207H)
j. Al Musnad disusun oleh abu Hanifah (150H)
k. Al Musnad disusun oleh Zaid ibn Ali
l. Al Musnad disusun oleh Al Imam Asy Syafi’i (204H)
m. Mukhtaliful Hadits disusun oleh Al Imam Asy Syafi’i
Metode-metode yang digunakan dalam penyusunsn hadist adalah sebagai berikut :
a.Metode Juz’ dan Atraf
Ini termasuk metode paling awal yang digunakan dalam mengelompokkan hadits. Metode Juz berarti mengumpulkan hadits berdasarkan guru yang meriwayatkan hadits kepada penulis kitab hadits. Metode atraf adalah pembukaan hadits dengan menyebutkan pangkalnya saja sebagai penunjuk matan hadits selengkapnya.
b.Metode Muwatta’
Secara kebahasaan muwatta berarti sesuatu yang dimudahkan. Sedangkan secara istilah ilmu hadits, muwatta adalah metode pembukuan hadits berdasarkan klasifikasi hukum Islam, dan mencantumkan hadits-hadits marfu, mauquf, dan maqtu.
c.Metode Mushannaf
Secara kebahasaan mushannaf berarti sesuatu yang disusun, namun secara istilah sama artinya dengan muwatta’.
d.Metode Musnad
Metode ini menglasifikasikan hadits berdasarkan nama para sahabat yang meriwayatkan hadits itu.

e.Metode Jami’
Jami’ berarti sesuatu yang mengumpulkan, menggabungkan, dan mencakup. Kitab Jami’ adalah kitab hadits yang metode penyusunannya mencakup seluruh topik-topik dalam agama, baik aqidah, hukum, adab, tafsir, manaqib, dan lain-lain.
f.Metode Mustakhraj
Manakala penyusunan kitab hadits berdasarkan penulisan kembali hadits-hadits yang terdapat dalam kitab lain, kemudian penulis kitab yang pertama tadi mencantumkan sanad dari dia sendiri, maka metode ini disebut mustakhraj.
g.Metode Sunan
Kata ‘sunan’ adalah bentuk jamak dari kata sunnah, yang pengertiannya sama dengan hadits. Sementara yang dimaksud di sini adalah metode penyusunan berdasarkan klasifikasi hukum-hukum Islam (abwab fiqhiyah), dan hanya mencantumkan hadits-hadits marfu’. Ini yang membedakan dengan metode mushannaf dan muwatta yang juga banyak mencantumkan hadits-hadits mauquf dan maqtu’.
h.Metode Mustadrak
Adakalanya penyusunan kitab hadits berdasarkan menyusulkan (append) hadits-hadits yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadits yang lain. Namun dalam menuliskan hadits-hadits susulan tersebut penulis kitab tadi mengikuti persyaratan periwayatan hadits yang dipakai oleh kitab yang lain tersebut.
i.Metode Mu’ja
Metode ini mengumpulkan hadits berdasarkan nama-nama para sahabat, guru-guru hadits, negeri-negeri, atau yang lain. Dan lazimnya nama-nama itu disusun berdasarkan huruf mu’jam (alfabet). Kesembilan metode di atas merupakan metode yang lahir sejak dini, dimulai dari masa para sahabat
j.Metode Majma’
Metode ini merupakan terobosan yang dilakukan semenjak kira-kira abad kelima hijri. Pada metode ini, penulis hadits menggabungkan kitab-kitab hadits yang sudah ada.
k.Metode Zawaid
Sebuah hadits terkadang ditulis oleh sejumlah penulis hadits secara bersama-sama dalam kitab mereka. Ada pula hadits yang hanya ditulis oleh seorang penulis hadits saja, sementara penulis hadits yang lain tidak menuliskannya. Maka hadits-hadits jenis kedua ini menjadi lahan penelitian para pakar hadits yang datang kemudian. Hadits-hadits ini kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab tersendiri. Metode penulisan ini disebut zawaid yang berarti tambahan-tambahan.

tanggung jawab orang tua terhadap anak

TANGGUNG JAWAB KEDUA ORANG TUA TERHADAP PENDIDIKAN ANAK DALAM AL QUR’AN

I. PENDAHULUAN
Dimasa sekarang banyak orang tua yang tidak melakukan tanggung jawabnya sebagai orang tua. Melainkan mereka hanya memikirkan bagaimana bisa hidup untuk besok dengan kata lain mereka hanya memikirkan materi saja. Padahal anak sekarang butuh sekali tanggung jawab orang tua untuk menemukan jati diri anak tersebut. Orang tua yang seperti itu sebaiknya ditindak lanjuti oleh agama.
Oleh karena itu dalam makalh ini akan dibahas tentang tanggung jawab orang tua terhadap anak dalm proses pendidikan. Agar kita mengetahui bagaimana sesunggunhya orang tua terhadap anaknya.
II. PERMASALAHAN
1. Bagaimana pengertian pendidikan islam ?
2. Apa saja tujuan pendidikan islam ?
3. Bagaimana tanggung jawab orang tua terhadap anak dalam pendidikan ?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Islam
Dalam UUSPN pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Sedangkan pendidikan islam ialah pendidikan yang falsafah, dasar dan tujuan serta teori-teori yang dibangun untuk melaksanakan praktek pendidikan nilai-nilai dasar islam yang terkandung dalam al Qur’an dan hadits Nabi .
Pengertian pendidikan islam sebagaimana dirumuskan oleh konfrensi internasional tentang pendidikan islam, adalah sebagai berikut :
The meaning of education in its totality in the context of islam in inherent in the connotations of the term. Tarbiyah, ta’lim and ta’dib taken together. What each of these term conveys concerning man and his society ang environment in relation to god is related to the athers, and together both formal and non formal. (First world coference on muslim education, 1997, p. 15).
B. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam secara umum adalah untuk mencapai tujuan hidup muslim, yakni menumbuhkan kesadaran manusia sebagai makhluk Allah SWT, agarmereka tumbuh dan berkembang menjadi mansuia yang berakhlak mulia dan beribadah kepada-Nya. Ada beberapa rumusan dengan ayat-ayat suci al Qur’an maupun Hadits, maka tujuan pendidikan adalah sebagai berikut :
1. Menumbuhkan dan mengembangkan ketaqwaan kepada Allah SWT, yang terdapat dalam surat al imran : 102.
     •   •   
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
2. Menumbuhkan sikap dan jiwa yang selalu beribadah kepada Allah SWT.
     
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku.
3. Membina dan memupuk akhlakul karimah.
انما بعثت لاتمم صالح الاخلا ق ( رواه البخاري)
Hanya saja aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.
4. Menciptakan pemimpin-pemimpin bangsa yang selalu Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
        
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.
5. Menumbuhkan kesadaran ilmiah, melalui kegiatan penelitian, baik terhadap kehidupan manusia, alam maupun kehidupan makhluk allah semesta.
       •                         •
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.
C. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak
Orang tua adalah pendidik pertama dan utama. Kaidah ini ditetapkan secara kodrati : artinya orang tua tidak dapat berbuat lain, mereka harus menempati posisi itu dalam keadaan bagaimanapun juga. Karena mereka ditakdirkan menjadi orang tua anak yang dilahirkannya. Oleh karena itu, mau tidak mau mereka harus menjadi penanggung jawab pertama dan utama. Kaidah ini diakui oleh semua sistem nilai yang dikenal manusia . Pada saat ini pemeliharaan dan pembiasaan sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan. Kasih sayang orang tua yang tumbuh akibat dari hubungan darah dan diberikan kepada anak secara wajar atau sesuai dengan kebutuhan. Keluarga yang ideal adalah keluarga yang mau memberikan dorongan kuat kepada anaknya untuk mendapatkan pendidikan agama. Jika mereka mampu dan berkesempatan, maka mereka lakukan sendiri pendidikan agama ini . Dilihat dari ajaran islam, anak adalah amanat Allah. Amanat wajib dipertanggung jawabkan. Jelas tanggungjawab orang tua terhadap anak tidaklah kecil. Secara umum tanggung jawab itu ialah penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak dalam keluarga .
Dasar-dasar tanggung jawab orang tua terhadap anaknya diuraikan oleh Noor Syam (1980 : 17) antara lain :
1. Dorongan atau motivasi cinta kasih yang menumbuhkan sikap rela mengabdikan hidupnya untuk sang anak.
2. Dorongan atau motivasi kewajiban moral sebagi konsekuensi kedudukan orang tua terhadap keturunannya, meliputi nilai religius, serta menjaga martabat dan kehormatan keluarga.
3. Tanggung jawab sosial berdasarkan kesadaran bahwa keluarga sebgai anggota masyarakat, bangsa dan negara bukan kemanusiaan.
Mengingat strategisnya jalur pendidikan keluarga, dalam UUSPN juga disebutkan arah yang seharusnya ditempuh yakni : pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga, dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan .
Dalam surat at Tahrim disebutkan :
       (التحريم : 6)
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.
ayat diatas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah. hal ini berarti orang tua bertanggung jawab atas anak-anak dan juga pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya. orang tua tidak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis .Tanggung jawab orang tua terhadap anak dalam pendidikan berlangsung terus sampai akhir hayat. Sebagai gambaran tanggung jawab dapat digambarkan sebagai berikut :








Berdasarkan gambar tersebut, bahwa tanggung jawab keluarga terhadap pendidikan anak berangsur-angsur mengecil setelah anak mencapai kematangan dan kedewasaan, namun tanggung jawab ini tidak akan lepas sama sekali.
Adapun aspek-aspek pendidikan sebagai tanggung jawab orang tua itu ada 4 macam aspek yaitu :
a. Pendidikan Ibadah
Khusunya dalam pendidikan sholat. Sebagimana disebutkan dalam al Qur’an surat al Luqman : 17 :
             •    
Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
b. Pokok-pokok Ajaran Islam dan membaca al Qur’an
Pendidikan dan pengajaran al Qur’an serta pokok-pokok ajaran islam lain telah disebutkan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib.
خير كم من تعلم القران وعلمه ( رواه البيهقي)
c. Pendidikan Akhlakul Karimah
Pendidikan ini sangat penting untuk dikemukakan dalam pendidikan keluarga, sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an surat Lukman : 14.
     •            .
Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu.
d. Pendidikan Aqidah Islamiyah
Aqidah ialah inti dari dasar keimanan seseorang yang harus ditanamkan kepada anak secara dini. Hal ini disebutkan dalam surat Lukman : 13.
              
Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Adapun pendidikan yang harus diberikan oleh orang tua sebagai wujud tanggung jawab terhadap keluarga adalah:
1. Pendidikan Agama
Pendidikan agama ini meliputi pendidikan aqidah, mengenalkan hukum halal-haram memerintahkan anak beribadah (shalat) sejak umur tujuh tahun, mendidik anak untuk mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, orang-orang yang shalih dan mengajar anak membaca Al-Qur’an. Al-Ghazali berkata, “Hendaklah anak kecil diajari Al-Qur’an hadits dan sejarah orang-orang shalih kemudian hukum Islam.” Pendidikan agama dan spiritual adalah pondasi utama bagi pendidikan keluarga.
2. Pendidikan akhlak
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Diantara kewajiban bapak kepada anaknya ialah memperbagus budi pekertinya dan membaguskan namanya.” (HR.Baihaqi). Para ahli pendidikan Islam menyatakan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, sebab tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mendidik jiwa dan akhlak.
3. Pendidikan jasmani
Islam memberi petunjuk kepada kita tentang pendidikan jasmani agar anak tumbuh dan berkembang secara sehat dan bersemangat. Allah Ta’ala berfirman: “Makanlah dan minumlah kamu tetapi jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak senang kepada orang yang berlebih-lebihan.” (QS.Al-A’raf:31). Ayat ini sesuai dengan hasil penelitian para ahli kesehatan bahwa agar tubuh sehat dan kuat, dianjurkan untuk tidak makan dan minum secara berlebih-lebihan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ajarilah anak-anakmu berenang dan memanah. Sebaik-baik pengisi waktu bagi wanita beriman adalah memintal. Apabila kedua orang tuamu memanggilmu maka penuhilah panggilan ibumu.” (HR Ad-Dailami)
Diriwayatkan bahwa setelah seluruh negeri Irak dibebaskan oleh shahabat Saad bin Abi Waqqash, beliau membuat rencana (maket) pembangunan kota Kuffah. Setelah maket itu diajukan kepada Khalifah Umar bin Al-Khattab beliau sangat menyetujui. Hanya beliau tambah bahwa disamping mendirikan masjid Jami’, hendaklah disediakan tanah lapangan tempat para pemuda berolah raga, latihan perang seperti melempar tombak, memanah, bermain pedang dan menunggang kuda. Di antara ucapan beliau yang terkenal ialah “Ajarkanlah kepada anak-anak kamu berenang dan memanah, hendaklah mereka dapat melompat ke punggung kuda sekali lompat”.
4. Pendidikan akal
Yang dimaksud dengan pendidikan akal adalah meningkatkan kemampuan intelektual anak, ilmu alam, teknologi dan sains modern sehingga anak mampu menyesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah. Hal inilah yang diisyaratkan oleh Allah dengan proses penciptaan nabi Adam AS dimana sebelum ia diturunkan ke bumi, Allah mengajarkan nama-nama (asma) yang tidak diajarkan kepada para malaikat. (QS. Al-Baqarah : 31)
              
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
5. Pendidikan sosial
Yang dimaksud dengan pendidikan sosial adalah pendidikan anak sejak dini agar bergaul di tengah-tengah masyarakat dengan menerapkan prinsip-prinsip syari’at Islam. Di antara prinsip syari’at Islam yang sangat erat berkaiatan dengan pendidikan sosial ini adalah prinsip ukhuwwah Islamiyah. Rasa ukhuwwah yang benar akan melahirkan perasaan luhur dan sikap positif untuk saling menolong dan tidak mementingkan diri sendiri. Islam telah menjadikan ukhuwwah Islamiyah sebagai kewajiban yang sangat fundamental dan mengibaratkan kasih sayang sesama muslim dengan sebatang tubuh, apabila salah satu anggota badannya sakit, maka yang lain ikut merasakannya. Untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyah ini Islam telah menggariskan syari’at Al-Jama’ah. Oleh karena itu setiap orang tua harus mengajarkan kehidupan berjama’ah kepada anak-anaknya sejak dini.
Seluruh aspek pendidikan ini akan berjalan maksimal apabila orangtua dapat dijadikan teladan bagi anak-anaknya di samping harus berusaha secara maksimal agar setiap dia melakukan pekerjaan yang baik bagi keluarganya dapat melakukan seperti yang dia lakukan. Hal inilah yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah keluarganya
IV. KESIMPULAN
Pendidikan ialah usaha yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap peserta didik agar menjadi dewasa. Segaimana tanggung jawab yang dilakukan oleh orang tua kepada anak terhadap pendidikan, yang mendorong anak menjadi bijaksana dan punya prilaku yang sopan. Jika orang tua tidak bisa mengarahkan anaknya dengan jalan yang baik maka anaknya tidak akan menjadi anak yang baik pula. Adapun tanggung jawab yang harus dilakukan orang tua, yaitu :
 Dorongan atau motivasi cinta kasih yang menumbuhkan sikap rela mengabdikan hidupnya untuk sang anak.
 Dorongan atau motivasi kewajiban moral sebagi konsekuensi kedudukan orang tua terhadap keturunannya, meliputi nilai religius, serta menjaga martabat dan kehormatan keluarga.
 Tanggung jawab sosial berdasarkan kesadaran bahwa keluarga sebgai anggota masyarakat, bangsa dan negara bukan kemanusiaan.
Jika tanggung jawab itu dilaksanakan dengan baik dan teratur maka tanggung jawab sebagai orang tua itu berhasil dan tidak mengalami kegagalan.

V. PENUTUP
Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah, yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. Kritik saran serta masukan selalu kami tunggu untuk hasil yang lebih baik dari tulisan ini. Kami memohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam penulisan dalam materi yang disuguhkan dalam makalah ini. Terakhir kami sampaikan selamat membaca.















DAFTAR PUSTAKA
Hadikusumo, Drs. Kunaryo, dkk. 1998.Pengantar pendidikan. Semarang : CV. Ikip Semarang.
Sudiyono, Drs. H.M.. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta : Rineka Cipta, 2009).
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Misbah. Jakarta : Lentera Hati.
Tafsir, Dr. Ahmad. 2007.Ilmu Pendidikan Dalam Persepektif Islam. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Thoha, Drs. HM. Chabib. 1996. MA. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta :Pustaka Belajar,.
http://abinefaiz.multiply.com/journal/item/14

pengertian iman

IMAN

I. PENDAHULUAN
Dalam mempelajari setiap ilmu pasti ada unsur-unsur pendukungnya dalam memahami ilmu tersebut. Misalnya, tauhid ini kita harus mengetahui apa saja yang harus dibahas dalam mata kuliah tauhid ini. Dalam kesempatan ini saya akan membahas tentang iman, yang di dalam pembahasan ini terdapat permasalahan-permasalahan tentang iman.
Iman merupakan percaya kepada Allah dan menyadarkan diri hanya kepada Allah, tiada yang lainnya. Semua orang Islam harus punya iman dan kita harus meningkatkan iman jangan sampai iman kita berkurang.

II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian iman itu sendiri?
B. Bagaimanakah ciri-ciri orang yang beriman?
C. Bagaimanakah hubungan antara iman, islam dan ihsan?
D. Ada berapakah macam-macam iman?

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Iman
Makna iman secara bahasa yaitu membenarkan, menampakkan kekhusyu'an dan iqrar (pernyataan/pengakuan). Adapun makna iman secara syar'i yaitu segala bentuk ketaatan bathin maupun zhahir. Ketaatan bathin seperti amalan hati, yaitu pembenaran hati. Sedangkan yang zhahir yaitu perbuatan badan yang mencakup berbagai kewajiban dan amalan-amalan sunnah. Dalam al-Qur-an tidak disebutkan iman saja tanpa disertai dengan perbuatan, namun digabungkan antara iman dan amal shalih di banyak ayat, itu mencakup ucapan dan perbuatan:
- Ucapan hati dan lisan
- Perbuatan hati, lisan dan badan.
Menurut (S. Abul ’ala al-maududi: 1967) iman secara bahasa adalah keyakinan atau kepercayaan. Menurut istilah adalah keyakinan hati dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu, yang dinyatakan dengan lisan dan melaksanakan dengan perbuatan. Boleh dikatakan bahwa iman adalah agama dan syariat, karena agama adalah pelaksanaan semua ketaatan dan menjauhi semua larangan, itu adalah sifat iman.
Karena Islam penyerahan diri dan tunduk, maka setiap orang mukmin menyerahkan diri dan tunduk kepada Allah swt., karena boleh jadi ia masuk Islam karena takut pedang. Demikianlah yang dikatakan oleh Asy-Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Nabi saw. bersabda iman adalah pengetahuan dengan hati dan perkataan dengan lisan serta pengamalan rukun-rukun yang dimaksud ialah amal perbuatan adalah syarat bagi kesempurnaan iman, sedangkan pernyataan lisan mengungkapkan pembenaran jiwa.
Para ulama’ salaf sepakat bahwa iman itu bertambah dan berkurang. Pertambahannya dengan melakukan berbagai ketaatan dan kekurangannya dengan melakukan berbagai maksiat. Pertambahan iman terjadi setelah memastikan pelaksanaan perintah dan meninggalkan larangan dan menerima takdir, tidak menyanggah Allah Azza wa Jalla mengenai perbuatan-Nya terhadap semua makhluk-Nya, tidak meragukan janji-Nya mengenai rizki, berserah diri dan bersabar atas cobaan.

B. Ciri-ciri Orang yang Beriman
Adapun ciri-ciri orang yang beriman yaitu:
1. Apabila mereka yang disebut Allah, maka takutlah hati mereka
2. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka
3. Orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Allah berikan kepada mereka.
Apabila kita beriman dengan haqqon kita akan mendapatkan kedudukan yang tinggi, sebaliknya kalau kita hanya mengatakan iman saja, tapi tidak dengan sugguh-sungguh derajat kita akan rendah di sisi Allah swt.

C. Hubungan Iman, Islam dan Ihsan
Iman adalah percaya kepada Tuhan, malaikat-maaikatNya, kitab-kitabNya, pertemuan dengan Dia (di akhirat), utusan-utusanNya dan hari kebangkitan.
Islam adalah menyembah kepada Tuhan dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, kamu melaksanakan shalat, membayar zakat dan puasa ramadhan. Ihsan ialah menjadi muslim yang sempurna yaitu menyembah Tuhan seakan-akan kamu melihatnya, apabila kamu tidak dapat melihatnya, maka Dia melihatmu.
Ketiga konsep tersebut, membentuk tiga tingkatan secara berurutan menurut konsep agama sebagaimana yang dipahami menurut pengertian Islam. Tingkatan yang paling tinggi adalah ihsan, tingkatan pertengahan adalah iman, kemudian baru islam.
Hubungan yang sama diperoleh diantara dua yang terakhir. Maka di dalam islam terdapat ihsan, dan di dalam iman terdapat ihsan tetapi muhsin adalah lebih khusus dibandingkan dengan mukmin, dan mukmin lebih khusus dibandingkan dengan muslim. Teori tentang ihsan, iman dan islam yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyah merupakan teori yang sangat menarik, yang berasal dari analisis struktur semantik bahasa. Menurut Al-Maudi, hubungan islam dengan iman adalah laksana hubungan antara pohon dengan uratnya, demikian pulalah mustahil seseorang bisa menjadi maksum tanpa mempunyai iman.

D. Macam-macam Iman
Seorang muslim harus meyakini tentang adanya rukun iman, yang mana rukun iman itu ada 6 yaitu:

1. Iman kepada Allah swt.
Iman kepada Allah adalah keyakinan pertama dan utama dalam sistem aqidah dan amaliah Islam, dimana aqidah-aqidah rukun iman lainnya hanyalah cabang dari prinsip pertama ini. Aqidah beriman kepada allah itu, kedudukannya sebagai titik pusat dan sumber kekuataan dalam keseluruhan sistem Islam, baik pola pikir dan beramal. Penjelasan al-Qur’an mengenai Allah lebih banyak dikemukakan melalui penjelasan tentang tanda-tanda kekuasaan Allah dan penyebutan sifat-sifatNya. Pikiran yang wajar dan logis telah diajarkan al-Qur’an tentang alam yang membawanya kepada keyakinan akan eksistensi Allah sebagai pencipta dan pengatur alam semesta. Apabila seseorang beriman kepada Allah, ia akan merasakan nikmat sebagai buah pengenalannya dengan Allah, yaitu:
a. Adanya perasaan bebas dalam jiwa, terhindar dari belenggu.
b. Dapat menumbuhkan keberanian
c. Menumbuhkan keyakinan bahwa Allah lah yang memberi rezeki manakala rezeki telah diberikan, tidak ada yang dapat menghalanginya, walaupun orang lain benci.
d. Adanya ketetapan hati dan ketenangan jiwa.
e. Dapat menumbuhkan kekuatan moral
f. Allah memberikan kehidupan sejahtera kepada orang-orang yang beriman di dunia ini.

2. Iman kepada Malaikat
Setelah mengimani Allah manusia diperintahkan untuk mengimani adanya para Malaikat. Faedah beriman kepada Malaikat ialah aqidah menjadi bersih dari noda-noda syirik, karena orang-orang kafir menganggap para Malaikat itu anak-anak Allah. Mereka menyembah Malaikat sebagaimana mereka menyembah Allah. Orang-orang beriman bukan disuruh menyembah malaikat, melainkan untuk mengimaninya. Karena malaikat merupakan makhluk yang suci, oleh karena itu para malaikat diberi tugas masing-masing oleh Allah.


Adapun malaikat yang wajib diketahui oleh orang muslim itu ada 10 malaikat, yaitu:
a. Malaikat Jibril
b. Malaikat Mika’il
c. Malaikat Israfil
d. Malaikat Izra’il
e. Malaikat Munkar dan Nakir
f. Malaikat Rakib dan Atid
g. Malaikat Ridwan
h. Malaikat Malik

Diantara sifat-sifat malaikat adalah sebagai berikut:
- Malaikat diciptakan dari cahaya (Nur)
- Malakat tidak dapat dilihat oleh manusia walaupun berada di tenah mereka
- Malaikat dapat membentuk diri dalam wujud manusia
- Malaikat mempunyai kekuatan yang luar biasa dengan izin Allah
- Malaikat senantiasa bertasbih siang da malam
- Malaikat tidak mempunyai hawa nafsu.

3. Iman kepada Kitab-kitab Allah
Kitab Allah yang diturunkan kepada umat manusia melalui Nabi tidak dapat semuanya dihadapkan kepada manusia semuanya, karena terbatasnya usia yang dimilikinya. Tetapi Allah mengabarkan adanya kitab-kitab yang di turunkan kepada para Nabi dan umat terdahulu yang harus diyakini keberadaannya. Kitab-kitab tersebut adalah Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud, Taurat yang diturunakan kepada Nabi Musa dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa. Namun semua kitab-kitab tersebut sudah tidak asli lagi, selain isinya tidak sempurna. Sebagai pedoman dan keselamatan, maka Allah menurunkan kitab yang terakhir yang paling lengkap dan paling sempurna serta sifat universal yaitu al-Qur’an. Kitab inilah yang menjadi pedoman manusia sejak manusia yang hidup sampai berakhirnya kehidupan di alam semesta ini.

Firman Allah:
            (البقرة: 4)
”Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. Al-Baqarah: 4)

4. Iman kepada Rasul-rasul Allah
Diantara keadilan Allah adalah mengutus Rasul-rasul dan Nabi-nabi yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Semua Nabi dan Rasul merupakan mata rantai sejak Nabi pertama sampai terakhir, bila kita mendustakan salah seorang Nabi berarti mendustakan semuanya. Allah mengutus mereka dengan dibekali penjelasan dan mu’jizat. Mereka adalah manusia yang tak lepas dari kemanusiaaannya seperti makan, minum, sehat, tidur, hidup atau mati.

Firman Allah:
    •         (النّحل: 36)

”Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (QS. An-Nahl: 36)

5. Iman kepada Hari Akhir
Bahwa kehidupan ini akan ada akhirnya, hari akhir yang tiada hari lagi setelah hari itu. Kemudian datanglah kehidupan yang kedua. Allah membangkitkan makhluk, mengumpulkan mereka semuanya di dalam makhsyar untuk dihisab amalannya, orang-orang yang berbuat baik diberi pahala. Hari kiamat diberi tanda-tanda yang mendahuluinya seperti datangnya Isa masihiddajjal, ya’juj dan ma’juj, turunnya Nabi Isa a.s., keluarnya binatang-binatang dan terbitnya matahari dari sebelah barat. Kemudian ditiuplah terompet kebenaran dan kebangkitan. Diantara mereka ada yang mengambil kitab dengan tangan kanan dan ada pula yang mengambil dengan tangan kirinya.

Firman Allah swt.:
           
”Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 26-27)

6. Iman kepada Qadha dan Qadar
Qadha dan Qadar adalah ketentuan Allah bagi manusia yang menunjukka ke-Mahakuasa-an Allah dalam menentukan nasib manusia. Allah maha kuasa untuk menentukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Kuasa dan Maha Tahu tentang nasib seluruh makhluk-Nya. Allah sudah menentukan nasib setiap makhluk-Nya, tetapi tak seorang pun makhluk yang mengetahui nasibnya. Oleh karena itu jika Alah menghendaki, maka Allah Maha Kuasa untuk merubah nasib makhluk-Nya, jika makhluknya berusaha untuk merubahnya.

Firman Allah:
          

”Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-ra’du: 11)

Sesuai dengan ayat di atas bahwa Allah telah menetapkan ketentuan-ketentuan dan nasib manusia di zaman azali yang disebut sebagai Qadha’, demikian pula Allah berkehendak untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan-Nya yang disebut Qadar. Allah Maha Adil dalam memberikan nilai pada setiap usaha yang dilakukan manusia, termasuk merubah nasib dirinya. Setelah upaya dilakukan kemudian berhasil itu adalah takdir. Demikian sebaliknya jika sudah berusaha namun tidak berhasil itu adalah takdir. Setiap takdir Allah adalah yag terbaik bagi manusia.

IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas bahwa iman itu meduduki urutan yang kedua, yang paling tinggi adalah ihsan, kemudian yang paling rendah adalah islam. Hubungannya antara iman, islam dan ihsan adalah satu kesatuan, yang mana orang yang mengaku Islam tapi tidak beriman, mustahil orang itu dikatakan Iman. Tapi kalau orang itu beriman maka bisa dikatakan Islam.

V. PENUTUP
Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah, yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. Kritik saran serta masukan selalu kami tunggu untuk hasil yang lebih baik dari tulisan ini. Kami memohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam penulisan dalam materi yang disuguhkan dalam makalah ini. Terakhir kami sampaikan selamat membaca.






DAFTAR PUSTAKA


Al-Jazair, Abu Bakar Jabir, Pola Hidup Muslim, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990.

Al-Khaubawiy, Umar bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir, Durrotun Nasihin, Semarang: Toha Putra, 1949.

Al-Maududi, S. Abul ‘Ala, Toward Understanding Islam, Yogyakarta: Sulita, 1967.

¬____________________ , Dasar-dasar Iman, Bandung: Pustaka, 1986.

An-Nawawi, Muhammad bin Umar, Terjemah Tanqihul Qaul, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995.

Daudy, Ahmad, Kuliah Akidah Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.

Nurdin, Muslim, dkk., Moral dan Kognisi Islam, Bandung: Alfabeta, 2001.

Taimiyah, Ibnu, Al-Iman, Damaskus, 1961.

Rabu, 10 Maret 2010

IBADAH MAHDAH dan GHAIRU MAHDAH

IBADAH MAHDAH dan GHAIRU MAHDAH

I. PENDAHULUAN

Jangan terburu-buru menilai orang! Apalagi menilai amalan orang! apakah kita sudah bisa jadi orang yang benar-benar ikhlas? Atau hanya karena iri (riya) karena tidak bisa lantas memojokkan seseorang?

Beribadah, hanya diri sendiri dan Allah yang tahu apakah ikhlas atau karena riya? Ibadah sendiri secara umum dapat dipahami sebagai wujud penghambaan diri seorang makhluk kepada Sang Khaliq. Penghambaan itu lebih didasari pada perasaan syukur atas semua nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah padanya serta untuk memperoleh keridhaanNya dengan menjalankan titahNya sebagai Rabbul ‘Alamin.

Namun demikian, ada pula yang menjalankan ibadah hanya sebatas usaha untuk menggugurkan kewajiban, tidak lebih dari itu. Misalnya, saat ini banyak umat islam yang tidak berjamaah ke masjid kecuali shalat jum’at. Bahkan ada pula yang tidak sholat kecuali pada hari raya. Islmanya hanya ada di kartu identitas.

II. PERMASALAHAN

1. Apa pengertian ibadah mahdah dan ghairu mahdah?

2. Bagaimana hakikat ibadah itu?

3. Apa saja syarat-syarat diterimanya ibadah?

III. PEMBAHASAN

A. Pengertian Ibadah

Ibadah secara etimologis berasal dari bahasa arab yaitu عبد يعبد عبادة yang artinya melayani patuh, tunduk. Sedangkan menurut terminologis ialah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai allah azza wa jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin[1]. Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya[2];

1. Ibadah Mahdah

Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetpkan Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah :

Ø Wudhu,

Ø Tayammum

Ø Mandi hadats

Ø Shalat

Ø Shiyam ( Puasa )

Ø Haji

Ø Umrah

‘Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip:

a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.

b. Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:

وماارسلنا من رسول الا ليطاع باذن الله … النسآء 64

Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…(QS. 64)

وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا…
Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).

c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.

d. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.

Rumus Ibadah Mahdhah adalah

“KA + SS”

2. Ibadah Ghairu Mahdah

Ibadah ghairu mahdhah atau umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialah belajar, dzikir, tolong menolong dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:

a. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diseleng garakan.

b. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebut nya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.

c. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.

d. Azasnya “Manfaat, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.

Rumus Ibadah Ghairu Mahdhah

“BB + KA”

B. Hakikat Ibadah

Sebenarnya dalam ibadah itu terdapat hakikatnya, yaitu[3] :

خُضُوعُ الرُّوْحِ يَنْشَا ُعَنِ اسْتِشْعَارِالقلبِ بمحبة ِالمعبودِ وعظَمتهِ اعتقادا بان للعالم سلطا نا لايدْرِكُهُ العقلُ حقيقَتَهُ

“ ketundukan jiwa yang timbul dari karena hati (jiwa) merasakan cinta akan Tuhan yang ma’bud dan merasakan kebesaran-Nya, lantaran beri;tiqad bahwa bagi alam ini ada kekuasaan yang akal tak dapat mengetahui hakikatnya".

Adapun seorang arif juga mengatakan bahwa hakikat ibadah yaitu :

اصل العبادةِ ان ترضى لله مد براومختارا, وترضى عنه قاسما ومعطيا ومانعا وترضاه اِلهًا ومعبودا

pokok ibadah itu, ialah engkau meridhoi Allah selaku pengendali urusan; selaku orang yang memilih; engkau meridhai Allah selaku pembagi, pemberi penghalang (penahan), dan engkau meridhai Allah menjadi sembahan engkau dan pujaan (engkau sembah)

Didalam ibadah itu terdapat berbagai macam penghalang ibadah[4]. Penghalangnya yaitu :

1. Rezeki dan keinginan memilikinya

2. Bisikan-bisikan dan keinginan meraih tujuan

3. Qadha; dan pelbagai problematika

4. Kesusahan dan berbagai musibah

C. Syarat-Syarat Diterimanya Ibadah

Ibadah adalah perkara taufiqiyyah, yaitu tidak ada suatu ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Apa yang tidak di syari’atkan berarti bid’ah mardudah ( bid’ah yang ditolak ), hal ini berdasarkan sabda Nabi :

مَنْ عَمَِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدُّ.

“ Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntutan dari Kami, maka amalan tersebut tertolak.”

Ibadah-ibadah itu bersangkut penerimaannya kepada dua faktor yang penting, yang menjadi syarat bagi diterimanya. Syarat-syarat diterimanya suatu amal (ibadah) ada dua macam yaitu[5]:

1. Ikhlas

قل انى امرت ان اعبد الله مخلصا له الدين. وامرت لان اكون اول المسلمين (الزمر:11-12)

Katakan olehmu, bahwasannya aku diperintahkan menyembah Allah (beribadah kepada-Nya) seraya mengikhlaskan ta’at kepada-Nya; yang diperintahkan aku supaya aku merupakan orang pertama yang menyerahkan diri kepada-Nya.”

2. Dilakukan secara sah yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah

........فمن كان يرجوالقاءربه فليعمل عملاصالحاولايشرك بعبادةربه احدا (الكهف:110)

Barang siapa mengharap supaya menjumpai Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholeh, dan janganlah ia mensyarikatkan seseorang dengan tuhannya dalam ibadahnya itu”

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.

Ulama’ ahli bijak berkata: inti dari sekian banyak ibadah itu ada 4, yaitu[6]:

الوفاء بالعهدود والمحافطة على الحدودوالصبر على المفقو والرضا بالموجود

1. Melakasanakan kewajiban-kewajiban Allah

2. Memelihara diri dari semua yang diharamkan Allah

3. Sabar terhadap rizki yang luput darinya

4. Rela dengan rizki yang diterimanya.

IV. KESIMPULAN

Ibadah merupakan suatu uasaha kita untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah dalam islam itu ada dua macam yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Hakikat ibadah itu adalah melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh ketundukan dan perendahan diri kepada Allah. seorang hamba yang ibadahnya ingin dikabulkan hendaklah haruis memenuhi 2 syarat yaitu ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah.

V. PENUTUP

Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah, yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan waktu yng telah ditentukan. Harapan saya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya sendiri dan para pembaca sekalian. Kami memohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam penulisan dalam materi yang disuguhkan dalam makalah ini. Terakhir kami sampaikan selamat membaca.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

al Bantani, Imam Nawawi, Nashaihul Ibad. Toha Putra : Semarang.

al Ghazali, Abu Hamid, 2007. Minhaj al Abidin Ila al Jannah. Jogjakarta: Diva Press.

ash Shiddieqy, Hasbi, 1991. Kuliah Ibadah. Yogyakarta: Bulan Bintang.

Syukur, Prof. Amin MA, 2003. Pengantar Studi Islam. Semarang :CV. Bima Sakti

Alim, Drs. Muhammad, 2006. Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.



[1] Prof. Amin Syukur MA, Pengantar Studi Islam, (Semarang :CV. Bima Sakti,2003), Hlm. 80.

[2] Drs. Muhammad Alim, Pendidikan agama islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2006), Hlm. 144.

[3] Hasbi ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (yogyakarta: Bulan Bintang, 1991), Hlm. 8-9

[4] Abu Hamid Al Ghazali, Minhaj Al Abidin Ila Al Jannah, (Jogjakarta: Diva Press,2007), Hlm. 183

[5] Hasbi Ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1991), Hlm. 12-13

[6] Imam Nawawi Al Bantani, Nashaihul Ibad, (Toha Putra : Semarang,), Hlm. 29.