Jumat, 18 Maret 2011

babiliona

Bahasa Arab adalah cabang dari suatu rumpun besar yang disebut rumpun “bahasa-bahasa Semitik”. Yang pertama kali memakai istilah ini adalah orientalis bernama Schlözer, yang mengambilnya berdasarkan skema pembagian bangsa-bangsa yang ada dalam kitab Taurat. Skema itu mengembalikan seluruh bangsa-bangsa yang ada di dunia, setelah terjadinya bencana angin topan Nabi Nuh as. kepada ketiga anaknya yaitu: Sam, Ham, dan Yafits.
Bahasa-bahasa Semitik secara umum terbagi dua: Semitik Timur dan Semitik Barat. Bahasa-bahasa Semitik Barat terbagai menjadi: Semitik Barat Daya dan Semitik Barat Laut. Sementara Bahasa Semitik Timur adalah bahasa Akadia dengan dua cabangnya yaitu: bahasa Babilonia dan bahasa Asyiria. Bahasa Semitik Timur ini sampai ke tangan kita dalam bentuk prasasti-prasasti yang tertulis dengan tulisan paku di tanah kering. Prasasti terpenting antara lain adalah prasasti yang di dalamnya ada tertulis hukum Hamurabi yang merupakan aturan hukum paling tua di muka bumi.
Wialayah tempat asal bahasa Semitik Timur adalah negeri di antara dua sungai Dajlah dan Furat di Irak. Bahasa Akadia adalah nama yang diberikan oleh bangsa Babilonia di selatan Mesopotamia terhadap bahasa mereka (bahasa Babilonia) dan bahasa saudara mereka bangsa Asyiria di utara Mesopotamia. Akadia juga digunakan oleh para linguis modern untuk menyebut berbagai dialek dari bahasa Babilonia dan Asyiria. “Akkad” pada mulanya adalah nama sebuah kota yang dibangun oleh “Sarjun” di bagian utara negeri Babilonia pada sekitar tahun 2350 SM, untuk menjadi ibu kota negaranya, Babilonia, yang merupakan negara Semitik pertama yang ada di tanah Mesopotamia.
Bahasa Akadia ini sudah punah sejak lama. Yang tersisa untuk kita hanyalah prasasti-prasasti yang dari situ kita mengetahui sejarah bangsa Akadia ini, sebuah bangsa dengan kebudayaan dan peradaban besar. Kurang lebih 140 tahun lalu kita tidak mengetahui sedikitpun tentang bahasa Akadia ini, dengan dua cabangnya: Babilonia, dan Asyiria. Kita memang mengetahui adanya bangsa Babiloniua dan Asyiria dari cerita-cerita yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama, namun kita sama sekali tidak memiliki dokumen-dokumen yang ditulis dengan bahasa kedua kerajaan besar ini. Orang yang pertama kali melakukan pengalian arkeologis di negeri Mesopotamia adalah Botta, seorang konsulat Perancis di Mosul, Irak, pada tahun 1842 M. Penggalian-penggalian arkeologisnya di perkampungan Kharsabad dekat kota Mosul berhasil menyingkap bagian-bagian istana Sarjun II, salah seorang raja Asyiria pada abad VIII SM. Itu terjadi pada bukan maret tahun 1843 M.
Setelah itu berturut-turut terjadi banyak penemuan arkeologis yang melibatkan banyak arkeolog Perancis, Inggris dan Amerika seperti Parrot, Layard, dan Mallown. Hasil dari penggalian-penggalian ini adalah ditemukannya sejumlah besar prasasti yang ditulis di lempengan-lempengan tanah kering yang dibakar. Sebagaimana juga ditemukan bahasa Hirogliph yang salah satunya ada dalam lempengan batu tentang Harun al-Rasyid yang ditulis dalam tiga bahasa, salah satunya adalah bahasa Yunani. Di sini juga ditemukan lempengan prasasti yang tertulis dalam tiga bahasa yang salah satunya adalah bahasa Persia kuno. Yang berjasa memecahkan simbol-simbol prasasti ini adalah seorang ilmuwan Inggris bernama Rawlinson pada tahun 1847 M.
Sementara bahasa Semitik Barat Laut terbagi kepada dua bahasa: Kan’aniyah dan Aramea. Yang pertama (Kan’aniyah) terbagi menjadi Kan’aniyah Utara dan Kan’aniyah Selatan. Yang utara diwakili oleh bahasa Ugaritik, yaitu sebuah dialek Kan’aniyah kuno, dipakai di kota Ugarit yang terletak lebih dari 12 km sebelah utara Latakia pantai Siria. Bahasa Ugaratik ini ditemukan pada tahun 1929 M secara kebetulan. Pada bulan Maret 1928 seorang petani tengah mencangkul tanahnya dengan tenang di wilayah Minah Bidhah, pantai utara Syiria. Ketika sedang asyik bekerja, tiba-tiba cangkulnya mengenai sebuah batu besar. Setelah diangkat, terlihat ada alan masuk ke dalam tanah yang ujungnya berhenti pada sebuah pekuburan dengan atap yang melengkung. Di situ sang petani menemukan sejumlah besar lempeng tanah yang dibakar dan vas-vas bunga kecil yang sama sekali tidak rusak. Berita mengenai peristiwa ini sampai ke Kantor Arkeologi Perancis di Beirut yang kemudian mengutus para ilmuwannya untuk melakukan investigasi. Mereka lalu memastikan bahwa kuburan ini bukanlah satu-satunya di wilayah ini, namun ia hanya merupakan satu bagian dari sebuah kuburan besar. Dan jika ada kuburan besar, artinya ada sebuah kota yang tidak jauh dari kuburan besar itu.
Di dekat wilayah penemuan itu, sekitar satu kilometer, ada sebuah bukit tinggi yang bernama Rasy Samra. Sebelumnya di sana banyak orang yang menemukan benda-benda seperti piring dan pisau belati, sehingga ramai dibicarakan bahwa di sana ada sebuah kota besar, di mana seseorang yang hendak mengelilingi pagarnya membutuhkan waktu beberapa hari.
Maka pada tahun 1929 M dimulailah penggalian terhadap bukit itu. Terlihatlah dengan jelas kota Minah al-Bidhah. Di dekatnya ditemukan banyak kuburan lain. Di bawah bukit itu tampak kota kuno Ugarit, yang dulu dalam sejarahnya, ribuan tahun ke belakang, merupakan pusat dari sebuah negara besar dengan peradaban yang besar pula. Di sana ditemukan ratusan prasasti yang dengan mudah dapat dibaca oleh para ilmuwan karena mirip dengan prasasti-prasasti berbahasa Akadia, yaitu dengan tulisan paku. Namun bedanya yang ditemukan ini ditulis dengan sistem abjad sehingga mudah membacanya, sementara yang berbahasa Akadia dengan sistem suku kata.
Sementara itu, bahasa Kan’aniyah Selatan mencakup bahasa Ibrani. Dan teks terpenting yang tertulis dengan bahasa ini adalah Kitab Perjanjian Lama yang meliputi kitab Taurat-nya Musa, Mazmurnya Sulayman, Daud, dlsb.
Sumber bahasa Ibrani yang paling awal bagi kita adalah Kasidah Daburah (قصيدة دبورة) yang kembali pada masa milenium kedua SM, yang juga merupakan masa jayanya sastra, yang beritanya sampai kepada kita melalui para nabi. Dari masa ini kita memiliki sumber prasastri berupa lempengan komemoratif yang ditemukan di pintu masuk Terusan Salwan dekat Bait al-Maqdis. Prasasti itu berisi enam baris yang bercerita tentang kisah akhir penggalian terusan itu pada abad VII SM.
Penjara Babilonia dan penghancuran Baitul Maqdis oleh Nebukadnezar pada tahun 586 SM merupakan pengalaman keras bagi bahasa Ibrani. Mereka yang diasingkan di Babilonia memang tidak kehilangan bahasa mereka, bahkan mereka semakin teguh memegang ajaran agama mereka, lebih dari sebelumnya. Oeh karena itu pada masa pengasingan di Babilonia ini banyak karya sastra indah yang ditulis. Ketika bangsa Ibrani kembali dari pengasingan mereka di Babilonia pada tahun 538 SM, mereka menemukan bahasa Ibrani tetap berkembang di Palestina, dan tetap menjadi bahasa Palestina untuk kurun waktu yang tidak sebentar. Namun abad IV dan abad-abad berikutnya, banyak membawa faktor degradasi bahasa Ibrani. Hal ini diperparah oleh kebiasaan lelaki Yahudi menikah dengan wanita-wanita non-Yahudi, yang tidak mengerti bahasa Ibrani.
Tersebarnya bahasa Aramea di tengah-tengah masyarakat membuat bahasa Ibrani semakin terpinggirkan. Hal ini memaksa para tokoh agama untuk menerjemahkan doa-doa dalam Perjanjian Lama ke dalam bahasa Aramea. Terjemah ini selama beberapa kurun bersifat oral, yang disampaikan setelah membaca nash berbahasa Ibrani. Setelah beberapa lamu baru kemudian ditulis dan dinamakan “Tarjum”. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar