Jumat, 18 Maret 2011

pluralisme

Jakarta, Kompas – Pluralisme dan multikulturalisme di negeri ini
sudah muncul sejak kehadiran manusia purba di Nusantara. Bukti-bukti
arkeologis menunjukkan, keragaman yang dimiliki bangsa ini sejak
prasejarah itu telah menciptakan mozaik yang indah dalam tampilan
fisik manusia dan budaya Indonesia.

“Pluralisme dan multikulturalisme bagi bangsa ini merupakan sebuah
keniscayaan; sesuatu yang memang harus ada dan tidak terbantahkan,”
kata Harry Truman Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari
Puslitbang Arkeologi Nasional, ketika dikukuhkan sebagai profesor
riset di Jakarta, Senin (27/11).

Bersamaan pengukuhan Harry Truman Simanjuntak, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga mengukuhkan Naniek Th
Harkantiningsih Wibisono dan Harris Sukendar sebagai profesor riset
untuk bidang arkeologi. Sidang pengukuhan dipimpin Kepala LIPI Umar A
Jeanie.

Dalam uraiannya, Truman Simanjuntak memaparkan rangkaian terciptanya
apa yang kini disebut pluralisme dan multikulturalisme. Latar
belakang terjadinya pluralisme dan multikulturalisme di Nusantara,
yang merupakan sejarah panjang terbentuknya keindonesiaan, ia
gambarkan secara detail lewat berbagai “persentuhan” budaya pada masa
prasejarah.

Temuan-temuan fosil dari lapisan plestosen bawah di Sangiran,
misalnya, secara fisik sudah menunjukkan ciri yang variatif. Begitu
pun jenis dan bahan peralatan yang digunakan. Kompleksitas masyarakat
juga tampak di bidang sosial.

“Salah satu keragaman budaya yang paling menonjol pada bahasa, yang
merupakan perkembangan lanjut dari bahasa awal, Austronesia.
Kemunculan penutur Austronesia dan budayanya di kepulauan Nusantara
merupakan etnogenesis bangsa Indonesia, sekaligus peletak dasar
budaya bangsa Indonesia,” paparnya.

Kompleksitas kehidupan dan interaksi masyarakat dengan “dunia luar”
telah pula ikut menciptakan kompleksitas budaya.

“Kalau sekarang muncul eksklusivisme kelompok yang kian menonjol, di
mana rasa persaudaraan dan semangat kebersamaan semakin hilang, dan
konflik-konflik sosial yang menafikan kemajemukan muncul di berbagai
tempat, semua itu terjadi karena sebagai bangsa kita kurang memahami
fondasi keindonesiaan,” paparnya. (ine/ken)(http://paramadina.wordpress.com/category/pluralisme/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar